Tanpa berniat mendramatisasi ataupun memberi kesan seakan-akan aku menikmati situasi ini, aku mau bilang kalau kondisiku di sini sulit banget. Makan susah; mesti cari halal, mesti harga murah, nggak ada warung-warung kayak angkringan atau ayam geprek yang bisa jadi tempat pelarian di kala lapar. Makananku literally abon, sosis, sama roti. Supaya nggak gampang kelaparan--sesuai saran temenku--aku nelan yang manis-manis dan itu pun tak lebih dari jelly kecil atau madu karena aku nggak bawa Snickers dari rumah (dan aku nyesel banget). Sebenarnya aku termasuk orang yang susah makan; di rumah pun aku bisa betah sehari makan cuma satu kali. Tapi di sini rasanya beda. Rasanya kalau aku nggak makan, aku bisa mati. Ya mungkin itu agak nggak berlebihan juga karena perutku lagi sensitif sama maag, dan maag bisa bikin orang mati. Jadi meskipun terbatas dan pas-pasan banget, aku berusaha tetap menelan sesuatu supaya perutku selalu terisi. Rada aneh juga sih, di sini aku jajan enak dikit rasanya kayak kemewahan banget. Padahal di rumah jajan yang kayak gitu rasanya biasa aja. Kenapa mesti berubah? Kenapa mesti beda? Bikin susah aja.
Kesulitan kedua adalah pergaulan. Aku bersyukur 6 dari 7 peserta program ini adalah orang Indonesia, tapi aku juga nggak bahagia karena ada banyak orang Indonesia bukan berarti pergaulan jadi lebih gampang. Ada kalanya aku mikir-mikir, coba orang Indonesianya dikit aja, pasti jadi lebih mudah akrab. Rasa satu persatuannya kuat. Nggak kayak gini, yang akhirnya malah ngegrup sendiri dan aku merasa terkucilkan. Tapi bisa dibilang aku pun cenderung menjauhkan diri dari mereka sih, soalnya gaya hidup kami nggak cocok. Aku pas-pasan banget, mau beli makan yang enak dikit aja mesti mikir-mikir dulu. Lah mereka malah tiap hari main ke mall. Gimana aku bisa selamat sampai program ini selesai kalau foya-foya terus. Lagian mall nggak menarik, nggak mendidik. Mending uang jajanku ditabung buat beli tiket The Mind Museum.
Kesulitan ketiga adalah imbas dari ketidakcocokanku dengan peserta-peserta lain itu, yaitu jadi susah jalan-jalan di sekitar asrama. Padahal jalan kaki sepuluh menit dari sini aja suasana kota udah berubah. Gedung-gedung tinggi, taman-taman, lalu lintas yang padat tapi rapi kayak di negara-negara maju, lanskap yang mirip New York. Seharusnya aku bisa bepergian sendiri, tapi ibuku bilang aku harus bepergian sama temen. Aku setuju karena semua orang yang memberi kami nasihat tentang hidup di kota ini pun mengatakan kalau kota ini berbahaya untuk turis yang jalan sendirian, tingkat kriminalitasnya tinggi, bahkan Pak Indra orang KBRI memperingatkan kami untuk berhati-hati terhadap penculikan. Aku nggak mau nekat, dan aku pun nggak mau ditangkap polisi hanya karena melanggar rambu-rambu lalu lintas pejalan kaki yang kelihatannya cukup ribet (karena aku nggak terbiasa). Jadi ya gimana ya. Aku yang di rumah biasanya berani bepergian sendiri jadi mau nggak mau jadi pengecut dulu di sini. Nggak apa-apa pengecut, yang penting selamat dan bisa ketemu keluarga lagi di rumah. Nggak usah sok berani yang ujung-ujungnya mempermalukan dan merugikan diri sendiri.
Di Twitter pun aku kayaknya mengeluh terus ya. Mbendino ana wae sing disambatke. Ya gimana sih, aku ikut program ini bukan buat seneng-seneng. “Liburan” itu tulisan di visa doang. Aku juga sebenarnya nggak begitu kaget kalau ternyata di sini hidup jadi wong susah banget. I didn’t expect this, but I didn’t expect a happy life either. Nggak tau juga ya, rasanya kayak pengin menerima kehidupan apa pun yang harus aku jalani di sini. Ini buat latihan survival yang sesungguhnya, yang selama ini cuma aku baca di buku-buku doang, and I really am surviving. Jadi di sini tuh aku kayak cuma latihan aja, bener-bener nggak lebih dari latihan. Bukan liburan, bukan kerja sukarela sosial, melainkan latihan survival. Nggak heran kalau aku mengandaikan kehidupanku di sini sebagai perjalanan post-apocalypse. Tema hidupku sekarang benar-benar dystopia, dan sebagai heroine yang cerdas dan berpendirian pengikut June Iparis, aku harus survive. Aku nggak peduli sama orang-orang Jabodetabek yang mainnya ke mall mulu itu. It’s not like I want to be friends with them. No, not a bit. Di sini aku cuma kebetulan aja satu project dan satu asrama sama mereka. Satu project dan satu asrama nggak berarti harus berteman kan? Dan aku bukan lagi orang yang dikit-dikit berharap “semoga bisa dapat teman baru”. Menurutku itu terlalu naif.
Project bahkan belum dimulai dan aku udah pengin pulang. Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa pula aku ikut project ini kalau ujung-ujungnya bakal kakean sambat kayak gini? Mungkin untuk cari pembuktian aja sih, apakah benar leaving comfort zone itu bermanfaat dan menyenangkan. Sejauh ini jawabanku ya, keluar dari zona nyaman itu bermanfaat. Membuka pandangan, memperluas wawasan, menguji keberanian, melatih kemandirian, dan lain sebagainya. Tapi apakah menyenangkan? 아니. 재미 없어. Saking tidak menyenangkannya sampai aku berani bilang do not leave comfort zone. It’s a trap.
Kesulitan kedua adalah pergaulan. Aku bersyukur 6 dari 7 peserta program ini adalah orang Indonesia, tapi aku juga nggak bahagia karena ada banyak orang Indonesia bukan berarti pergaulan jadi lebih gampang. Ada kalanya aku mikir-mikir, coba orang Indonesianya dikit aja, pasti jadi lebih mudah akrab. Rasa satu persatuannya kuat. Nggak kayak gini, yang akhirnya malah ngegrup sendiri dan aku merasa terkucilkan. Tapi bisa dibilang aku pun cenderung menjauhkan diri dari mereka sih, soalnya gaya hidup kami nggak cocok. Aku pas-pasan banget, mau beli makan yang enak dikit aja mesti mikir-mikir dulu. Lah mereka malah tiap hari main ke mall. Gimana aku bisa selamat sampai program ini selesai kalau foya-foya terus. Lagian mall nggak menarik, nggak mendidik. Mending uang jajanku ditabung buat beli tiket The Mind Museum.
Kesulitan ketiga adalah imbas dari ketidakcocokanku dengan peserta-peserta lain itu, yaitu jadi susah jalan-jalan di sekitar asrama. Padahal jalan kaki sepuluh menit dari sini aja suasana kota udah berubah. Gedung-gedung tinggi, taman-taman, lalu lintas yang padat tapi rapi kayak di negara-negara maju, lanskap yang mirip New York. Seharusnya aku bisa bepergian sendiri, tapi ibuku bilang aku harus bepergian sama temen. Aku setuju karena semua orang yang memberi kami nasihat tentang hidup di kota ini pun mengatakan kalau kota ini berbahaya untuk turis yang jalan sendirian, tingkat kriminalitasnya tinggi, bahkan Pak Indra orang KBRI memperingatkan kami untuk berhati-hati terhadap penculikan. Aku nggak mau nekat, dan aku pun nggak mau ditangkap polisi hanya karena melanggar rambu-rambu lalu lintas pejalan kaki yang kelihatannya cukup ribet (karena aku nggak terbiasa). Jadi ya gimana ya. Aku yang di rumah biasanya berani bepergian sendiri jadi mau nggak mau jadi pengecut dulu di sini. Nggak apa-apa pengecut, yang penting selamat dan bisa ketemu keluarga lagi di rumah. Nggak usah sok berani yang ujung-ujungnya mempermalukan dan merugikan diri sendiri.
Di Twitter pun aku kayaknya mengeluh terus ya. Mbendino ana wae sing disambatke. Ya gimana sih, aku ikut program ini bukan buat seneng-seneng. “Liburan” itu tulisan di visa doang. Aku juga sebenarnya nggak begitu kaget kalau ternyata di sini hidup jadi wong susah banget. I didn’t expect this, but I didn’t expect a happy life either. Nggak tau juga ya, rasanya kayak pengin menerima kehidupan apa pun yang harus aku jalani di sini. Ini buat latihan survival yang sesungguhnya, yang selama ini cuma aku baca di buku-buku doang, and I really am surviving. Jadi di sini tuh aku kayak cuma latihan aja, bener-bener nggak lebih dari latihan. Bukan liburan, bukan kerja sukarela sosial, melainkan latihan survival. Nggak heran kalau aku mengandaikan kehidupanku di sini sebagai perjalanan post-apocalypse. Tema hidupku sekarang benar-benar dystopia, dan sebagai heroine yang cerdas dan berpendirian pengikut June Iparis, aku harus survive. Aku nggak peduli sama orang-orang Jabodetabek yang mainnya ke mall mulu itu. It’s not like I want to be friends with them. No, not a bit. Di sini aku cuma kebetulan aja satu project dan satu asrama sama mereka. Satu project dan satu asrama nggak berarti harus berteman kan? Dan aku bukan lagi orang yang dikit-dikit berharap “semoga bisa dapat teman baru”. Menurutku itu terlalu naif.
Project bahkan belum dimulai dan aku udah pengin pulang. Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa pula aku ikut project ini kalau ujung-ujungnya bakal kakean sambat kayak gini? Mungkin untuk cari pembuktian aja sih, apakah benar leaving comfort zone itu bermanfaat dan menyenangkan. Sejauh ini jawabanku ya, keluar dari zona nyaman itu bermanfaat. Membuka pandangan, memperluas wawasan, menguji keberanian, melatih kemandirian, dan lain sebagainya. Tapi apakah menyenangkan? 아니. 재미 없어. Saking tidak menyenangkannya sampai aku berani bilang do not leave comfort zone. It’s a trap.
Date 2017.01.14
Location Dormitory
Music -
No comments:
Post a Comment