Aku sudah mulai merasa akrab dengan kota ini. Dengan lingkungan di sekitar dorm; jam berapa saja kantin lantai satu ramai dengan orang-orang pencari wi-fi, sudut-sudut mana saja yang sinyalnya bagus, setiap malam penduduk lokal nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan menyalakan lagu hip hop Filipino keras-keras. Dengan orang-orang yang sering kami temui; para tetangga kamar, Pak Satpam dorm, satpam Seven Eleven, mbak-mbak dan mas-mas kasir Seven Eleven, abang penjual squid ball dan teman-temannya yang sering nongkrong menemaninya jualan, Bang Alex laundry langganan, sopir-sopir Grab dan Uber, dan terutama anak-anak didik di learning center. Aku sudah mulai berani jalan-jalan sendirian mau siang atau malam. Sudah tahu tempat makan mana saja yang jadi favorit (Sevel dan Jollibee!!!!). Sudah familier dengan jalan-jalan di daerah rimba gedung pencakar langit. Sudah bisa pulang tanpa Maps. Sudah terbiasa dengan kota ini dan rasanya bisa hidup di sini lebih lama lagi.
Tapi enam hari lagi, aku harus pulang.
Kalau ditanya apa perasaan-perasaan akrab dan familier itu membuatku kerasan tinggal di sini, jawabanku membingungkan. Antara ya dan tidak. Ya karena aku sudah berhasil beradaptasi, tidak karena aku benar-benar harus pulang untuk melanjutkan hidup. Sepertinya lebih condong ke tidak. Tapi aku akui aku akan merindukan banyak hal dari kota ini, terutama orang-orangnya. Teman-teman seperjuangan dan orang-orang yang sering kami temui (seperti yang sudah kusebutkan di atas). Rasanya ingin sekali berfoto dengan mereka semua, sebab entah mengapa keberadaan mereka terasa lebih istimewa sekaligus mudah hilang daripada gedung-gedung cantik dan pemandangan-pemandangan indah yang gampang disimpan dalam foto dan kartu pos. Gedung-gedung dan pemandangan-pemandangan itu bisa ditengok lagi di Google kapan saja, tapi orang-orang itu tidak. Mana ada mereka di Google. Maka dari itu, I feel like I want to have a little piece of each of them and keep it forever in my journal. Tapi ya gimana ya, mau minta foto rasanya malu gitu. Masa habis beli tuna omelette di Sevel, lalu bilang "May I take a picture with you?" sama mbak-mbak kasirnya. Not like it's impossible, tapi ya gimana ya huhu
Satu hal yang baru kusadari belum lama ini adalah di sini aku sering jalan-jalan di malam hari. Di rumah? Boro-boro. Di rumah tuh jam tujuh adalah jamku pulang, bukan keluar untuk main. Di sini jam tujuh juga bisa jadi jamku pulang, tapi sering kali aku bisa berada di luar dorm sampai jam sebelas malam. Seperti beberapa hari terakhir ini, dua kali duduk-duduk di Starbucks sama temen-temen sampai jam sepuluh dan sebelas malam, sekeluarnya dari situ masih mampir-mampir ke tempat-tempat di sekitar. Aneh juga sih, setelah sembilan belas tahun hidup tanpa pernah sekali pun main malam-malam, baru setelah satu bulan yang hampir setiap harinya jalan-jalan sampai malam di sini aku sadar kalau semua momen jalan-jalan itu adalah momen pertamaku menghabiskan malam hari di luar tempat tinggal. Dan rasanya... aku akan merindukan itu juga. Juga jadi bertanya-tanya, apa aku akan masih bisa main malam ya setelah pulang? Mungkin aku akan mengusahakan itu sedikit dengan proyek "Apresiasi Jogja Malam" (?), sebuah proyek yang idenya tercetus di kepala beberapa detik yang lalu. Aku juga punya proyek yang sebenarnya sebelum pergi ke sini pun sudah bikin kepikiran terus, yaitu jalan kaki dari FIB ke Malioboro. Aku pengin lebih banyak berpetualang dengan jalan kaki di Jogja. Kalau nggak ada temen yang bisa diajak, sendirian juga nggak apa-apa. Nggak apa-apa banget. Di kotaku sendiri ini. Nggak mungkin aku nggak berani :)
Ah, jadi tambah pengin pulang.
Enam hari lagi.
Aku pengin ke Gramedia dan beli buku-buku sastra yang sebelumnya nggak pernah kubayangkan akan kubaca.
Date 2017.02.14
Location Dormitory
Music -
No comments:
Post a Comment