Pages

Thursday, February 23, 2017

Otw Hidup Enak

Jogja panas banget. Tipikal musim hujan.

Lho, kok tiba-tiba Jogja? Bukan Makati?

Oh, iya, dong. Aku udah pulang :D Minggu malam berangkat dari Manila, Senin dini hari sampai di Jakarta, paginya terbang ke Jogja dan udah dua hari ini aku kembali beraktivitas di kampus tercinta. Dan aku merasa... nggak banyak mikir. Dua hari ini aku ngapain, ya? Cuma inget ngerjain tugas doang. Oh, kemarin sepulang kuliah aku iseng mampir ke Gramedia buat lihat-lihat buku dan pernak-pernik alat tulis (dan dekorasi) lucu. Malemnya di rumah nugas lagi (dan belajar bahasa Korea), trus nonton anime sampai ngantuk.

Rasanya kayak time is slipping. Lebih singkat dari yang biasanya kurasakan. Apa karena sebagian besar waktuku digunakan untuk nugas, ya? Kan dulu aku gabut banget, suka nunda-nunda tugas. Sekarang aku nggak mau kayak gitu lagi. Mungkin karena trauma dapet nilai jelek. Wih, kedengarannya nggaya banget. Tapi aku memang jenis orang yang peduli sama nilai. Pedulinya nggak sampai "harus A semua demi jadi nomor satu sedunia", tapi pokoknya peduli aja biar hidup lebih gampang. Nggak disindir orangtua, nggak minder sama temen, nggak susah cari beasiswa/kerja. Also I want to live up to my image--people see me as a hardworking person, someone who is smart, sharp, and diligent. "Someone who's capable of doing great things" kalau kata Mou. Aku kayak udah sampai di titik di mana aku harus dengerin apa yang dunia pikirkan dan katakan tentang diriku untuk mencari tahu sekaligus membentuk diriku yang sebenarnya. Kan ada tuh yang bilang "Jangan dengerin apa kata orang, jadilah dirimu sendiri saja. Be true to yourself." I didn't know which parts of me were my true self anymore, to the point where I couldn't tell what makes me me. At that point, the tables were flipped. Kamu sendiri bingung kamu ini orang yang kayak gimana, gimana mau "be true to yourself"? Daripada semakin bingung karena menghindari "apa kata orang" saking gengsinya nggak mau jadi seperti apa yang orang lain "harapkan", aku banting setir aja: Gimana kalau coba dengerin mereka dulu? Siapa tahu mereka benar? Atau setidaknya dijadikan petunjuk, apalagi kalau hal-hal yang orang lihat dari kamu itu positif dan keren semua. Maka jadilah aku sekarang, berusaha menjadi orang yang menurut A pinter, menurut B rajin, menurut D pinter bahasa Inggris. Tapi tetep lihat-lihat kondisi juga, sih. Aku nggak mau jadi orang yang kata E jago karya ilmiah karena memang pada kenyataannya aku nggak pernah dan nggak tertarik bikin karya ilmiah. Kan tujuanku tuh untuk menemukan "true self", bukan jadi orang fake :)

Aku udah semester empat sekarang. Tahun depan udah skripsi aja, dan aku udah mulai mikirin kerja. Bukan kerja sih. Lebih tepatnya cari duit sendiri. Ada seribu satu alasan yang membuat seseorang mulai kepengin cari duit sendiri. Ada temen yang kerja di kafe dan toko roti, ada temen yang kerja sebagai seniman (nyanyi, nyinden, pelatih, teater), ada yang berbisnis (banyak!), ada yang ngajar, ada juga yang serabutan tapi nggak jauh-jauh dari event organizing. Njuk aku dadi mikir, aku tahu banget kalo tanpa mencoba pun aku nggak punya ketertarikan apalagi kemampuan di bidang-bidang (?) itu. Lalu apa yang bisa kulakukan untuk menghasilkan uang? Satu-satunya skill-ku yang bisa kuandalkan adalah nulis, dan aku ini jenis orang yang bisanya menyumbangkan pikiran, bukan tenaga. Kemudian aku kepikiran koar-koar "Nulis tuh jangan buat cari duit" dan tiba-tiba muncul ide: Gimana kalau aku melakukan yang sebaliknya? Gimana kalau aku nulis untuk cari duit? Apa aku menjadi orang yang kemakan omonganku sendiri? Not really. I don't feel that way. Nulis tuh oke-oke aja buat cari duit, asal kualitas tulisan juga dikembangin, nggak cuma asal nulis. Kalau memang lagi belajar nulis, cari duit terasa kurang pas untuk jadi motivasi. Lah kalau nulisnya udah pinter, masa nggak boleh dimanfaatkan untuk menghasilkan uang? Sejujurnya aku udah merasa tulisanku bagus, cukup bagus untuk menyuntik rasa percaya diri dan dimuat di media. Tapi itu lebih ke secara teknis, sih. Tata bahasa dan lain sebagainya. Soal eksekusi ide dan konten... saya ndak tau... mungkin aku nggak akan pernah berhenti belajar dan nggak akan pernah merasa bagus apalagi pinter soal yang satu ini. Tapi inilah tantanganku sekarang. Akademisi dan peneliti bekerja dengan tulisan. Aku satu-satunya orang yang pengin kerja jadi peneliti di antara enam mahasiswa yang ngobrolin gimana caranya cari duit sambil makan di Kantin Bonbin tadi pagi. Lima lainnya pengin ngebisnis. Aku masih nggak tahu--bener-bener nggak tahu--mau nulis apa, but I'll figure it out. It'll take time, but I don't want to rush either. Sambil jalan, aku mau baca sebanyak-banyaknya. Brainstorm sesering-seringnya.

di Kantin Bonbin

Pada kenyataannya kita semua manusia sama-sama mengejar kehidupan yang enak dan menyenangkan. Tapi aku nggak mau enak-enak selamanya, apalagi kalau itu tidak membuatku berkembang. Aku suka tantangan intelektual, yang membuatku berpikir, mempertanyakan hal-hal yang lebih besar daripada eksistensiku di dunia ini, membuka dan melebarkan mata untuk segala macam ilmu pengetahuan yang sering kali dijauhi manusia-manusia negeri ini karena dianggap membosankan dan kurang praktis. Aku mau memilih jalan sebagai peneliti, maka pantas jika kehidupan kuliahku banyak diisi dengan membaca dan berdiskusi. Dibilang "mahasiswa kupu-kupu" ya terserah, lha wong memang dengan cara menjadi "kupu-kupu" itulah tujuan hidupku bisa tercapai. Dengan cara yang seperti itulah hidupku bisa enak dan menyenangkan. Ngapain menyiksa diri sendiri hanya demi mengikuti society di saat kamu punya hak untuk mendesain hidupmu sendiri?

* * *

Siang ini aku mengganti wallpaper laptop dengan gambar peta dunia resolusi tinggi. Siang ini juga aku ngobrol-ngobrol sama temen-temen soal konspirasi flat earth dan di saat dia kesusahan menjelaskan rekayasa rute penerbangan, aku langsung bilang, "Nih, nih, bentar. Kebetulan wallpaper-ku peta dunia," kemudian penjelasannya menjadi lebih mudah dimengerti karena diilustrasikan dengan peta dunia di layar laptopku. Sorenya aku ngobrol-ngobrol lagi sama temen tentang hal-hal kenegaraan yang menyebutkan letak Vietnam, Korea Utara, dan Great Wall Tiongkok, dan lagi-lagi wallpaper peta dunia itu membantu menjadi ilustrasi. "Coba buka desktop, deh. Kebetulan wallpaper-ku peta dunia." Ini hal kecil yang sebenarnya sangat remeh, tapi entah mengapa membuatku senang. Aku cinta peta dunia. Peta dunia itu sangat indah dan berguna.


* * *

Alhamdulillah sekali, dua hari terakhir ini aku sangat produktif (dalam belajar). Semoga terus berlanjut dan menjadi kebiasaan sampai-sampai akan terasa aneh jika tiba-tiba gabut nggak punya kerjaan.



Date 2017.02.23
Location Campus - Home
Music Dubstep & Gaming Music playlist by Avanza on Spotify

Tuesday, February 14, 2017

Tinggal Seminggu

Aku sudah mulai merasa akrab dengan kota ini. Dengan lingkungan di sekitar dorm; jam berapa saja kantin lantai satu ramai dengan orang-orang pencari wi-fi, sudut-sudut mana saja yang sinyalnya bagus, setiap malam penduduk lokal nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan menyalakan lagu hip hop Filipino keras-keras. Dengan orang-orang yang sering kami temui; para tetangga kamar, Pak Satpam dorm, satpam Seven Eleven, mbak-mbak dan mas-mas kasir Seven Eleven, abang penjual squid ball dan teman-temannya yang sering nongkrong menemaninya jualan, Bang Alex laundry langganan, sopir-sopir Grab dan Uber, dan terutama anak-anak didik di learning center. Aku sudah mulai berani jalan-jalan sendirian mau siang atau malam. Sudah tahu tempat makan mana saja yang jadi favorit (Sevel dan Jollibee!!!!). Sudah familier dengan jalan-jalan di daerah rimba gedung pencakar langit. Sudah bisa pulang tanpa Maps. Sudah terbiasa dengan kota ini dan rasanya bisa hidup di sini lebih lama lagi.

Tapi enam hari lagi, aku harus pulang.

Kalau ditanya apa perasaan-perasaan akrab dan familier itu membuatku kerasan tinggal di sini, jawabanku membingungkan. Antara ya dan tidak. Ya karena aku sudah berhasil beradaptasi, tidak karena aku benar-benar harus pulang untuk melanjutkan hidup. Sepertinya lebih condong ke tidak. Tapi aku akui aku akan merindukan banyak hal dari kota ini, terutama orang-orangnya. Teman-teman seperjuangan dan orang-orang yang sering kami temui (seperti yang sudah kusebutkan di atas). Rasanya ingin sekali berfoto dengan mereka semua, sebab entah mengapa keberadaan mereka terasa lebih istimewa sekaligus mudah hilang daripada gedung-gedung cantik dan pemandangan-pemandangan indah yang gampang disimpan dalam foto dan kartu pos. Gedung-gedung dan pemandangan-pemandangan itu bisa ditengok lagi di Google kapan saja, tapi orang-orang itu tidak. Mana ada mereka di Google. Maka dari itu, I feel like I want to have a little piece of each of them and keep it forever in my journal. Tapi ya gimana ya, mau minta foto rasanya malu gitu. Masa habis beli tuna omelette di Sevel, lalu bilang "May I take a picture with you?" sama mbak-mbak kasirnya. Not like it's impossible, tapi ya gimana ya huhu

Satu hal yang baru kusadari belum lama ini adalah di sini aku sering jalan-jalan di malam hari. Di rumah? Boro-boro. Di rumah tuh jam tujuh adalah jamku pulang, bukan keluar untuk main. Di sini jam tujuh juga bisa jadi jamku pulang, tapi sering kali aku bisa berada di luar dorm sampai jam sebelas malam. Seperti beberapa hari terakhir ini, dua kali duduk-duduk di Starbucks sama temen-temen sampai jam sepuluh dan sebelas malam, sekeluarnya dari situ masih mampir-mampir ke tempat-tempat di sekitar. Aneh juga sih, setelah sembilan belas tahun hidup tanpa pernah sekali pun main malam-malam, baru setelah satu bulan yang hampir setiap harinya jalan-jalan sampai malam di sini aku sadar kalau semua momen jalan-jalan itu adalah momen pertamaku menghabiskan malam hari di luar tempat tinggal. Dan rasanya... aku akan merindukan itu juga. Juga jadi bertanya-tanya, apa aku akan masih bisa main malam ya setelah pulang? Mungkin aku akan mengusahakan itu sedikit dengan proyek "Apresiasi Jogja Malam" (?), sebuah proyek yang idenya tercetus di kepala beberapa detik yang lalu. Aku juga punya proyek yang sebenarnya sebelum pergi ke sini pun sudah bikin kepikiran terus, yaitu jalan kaki dari FIB ke Malioboro. Aku pengin lebih banyak berpetualang dengan jalan kaki di Jogja. Kalau nggak ada temen yang bisa diajak, sendirian juga nggak apa-apa. Nggak apa-apa banget. Di kotaku sendiri ini. Nggak mungkin aku nggak berani :)

Ah, jadi tambah pengin pulang.

Enam hari lagi.

Aku pengin ke Gramedia dan beli buku-buku sastra yang sebelumnya nggak pernah kubayangkan akan kubaca.

Date 2017.02.14
Location Dormitory
Music -

Monday, February 6, 2017

Ketertarikan-ketertarikan Baru

Elaborating my journal entry.

* * *

Aku mulai menemukan keasyikan traveling.... Like, when I see a city framed in picture or video, there's this voice that whispers unexpectedly but somehow naturally, telling me that I want to go there and I should do that someday. Bahwa sebenarnya--dan ternyata--because I've found out--jalan-jalan dan menetap sebentar di tanah asing selama beberapa waktu itu berat tapi menyenangkan. Rasa senang itu datangnya mungkin belakangan, but it is definitely something that is worth waiting--and fighting--for, dan bisa jadi keasyikan traveling itulah--yang datangnya betulan belakangan--yang telah mengubah cara pandangku. Recently I realized that I want to feel it again, but in different places and with different people, which is why I've started to mentally note every country and city I'd hopefully visit in the future. Rasanya agak sayang kalau cuma Korea Selatan, Vietnam, Inggris, dan Amerika Serikat. Maka aku menambahkan negara-negara Asia Timur, Australia, dan Islandia.

Akhir-akhir ini aku mulai memikirkan hal-hal yang lebih besar daripada yang biasa kupikirkan. Seperti, haruskah aku mengikuti atau memulai--kalau belum ada--kampanye perlindungan hewan domestik di kampung halamanku? Rupanya kejadian penyelamatan lima anak kucing beberapa waktu lalu meninggalkan bekas yang cukup besar. Ceritanya begini: Aku menemukan lima anak kucing yang usianya mungkin baru jalan beberapa minggu dibuang dengan kotak kardus di pinggir jalan besar, dan mereka menjerit-jerit panik sambil menjatuhkan diri dari trotoar ke jalan yang dilintasi mobil-mobil besar. Malam itu rasanya aku rela ketinggalan pesawat pulang ke Indonesia; pikiranku blank dan yang kutahu hanyalah aku harus mengamankan anak-anak kucing itu dulu. Perasaan itu, rupa-rupanya, terbawa dalam keadaan hidup sampai sekarang, seperti lumut tumbuh di dinding yang sebelumnya kosong dan bersih, dan aku mulai berpikir "aku harus melakukan sesuatu". Ini bukan kali pertamaku dibuat menangis oleh ulah kejam manusia terhadap hewan domestik--peliharaan seperti kucing dan anjing atau peternakan seperti ayam dan sapi. Ada banyak kecelakaan sadis yang telah terjadi, mulai dari kucing terlindas di jalan dan mayatnya tidak dipinggirkan, sampai kambing-kambing mati karena ditumpuk di mobil bak terbuka. I could really start a campaign out of this. Manusia-manusia di kotaku--dan seluruh negeri--harus mengerti kalau hewan itu juga punya perasaan dan bisa merasakan sakit. Mereka menderita seperti kita ketika dilukai. Mereka punya hak yang sama dengan kita untuk diselamatkan dari kebakaran dan bencana alam. Mereka titipan Tuhan, bagian dari kehidupan dan alam semesta, dan bukankah manusia diciptakan untuk memelihara Bumi dan segala isinya? Kita mendapatkan manfaat dari para binatang, mulai dari kulit sampai darahnya, lalu apa susahnya berbuat baik pada mereka? Tidak harus sampai menjaga dan melindungi dengan berkontribusi pada para aktivis atau tempat-tempat konservasi. Cukup dengan menempatkan mereka pada kandang yang pantas, diberi makan dan minum, diizinkan istirahat setelah bekerja keras, dan ditolong ketika disiksa.

Setelah bosan bertanya-tanya mengapa aku tidak bisa tertarik pada isu-isu politik, agama, sastra, budaya, dan hak asasi manusia, aku bersedia menerima kepedulian dan keprihatinanku terhadap para binatang sebagai bahan "penggerak hidup", sesuatu yang membuatmu selalu ingin berpikir kritis dan bergerak untuk melakukan (dan menghasilkan) hal-hal yang bermanfaat. Walau begitu, ketertarikan ini ingin kusimpan dulu untuk memastikan nyalanya benar-benar besar dan bukan merupakan percikan panas sisa api unggun yang bisa padam sewaktu-waktu.

Selain menerima kesadaran (dan pengakuan) bahwa aku mulai menyukai traveling, juga menemukan ketertarikan untuk melindungi para binatang, ada hal lain yang terjadi belum lama ini dan dia masih tinggal di pikiranku sampai sekarang: bahwa aku mulai sedikit-sedikit memperhitungkan apa-apa saja yang perlu kusiapkan untuk graduate school. Baru ada tiga universitas yang di dalamnya kutemukan jurusan-jurusan yang nyerempet-nyerempet minatku: Kyunghee, SNU, dan Kyungpook. Tapi itu pun rasanya tidak cukup--"nyerempet" itu bukan satuan yang memuaskan. Aku harus gali-gali info lebih banyak lagi dan aku bingung karena setelah googling dengan berbagai kata kunci, apa yang kucari tak kunjung muncul di hasil pencarian. Malah yang keluar bukan universitas Korea Selatan, melainkan Amerika Serikat dan Inggris. Aku nggak pengin kuliah gradschool di Amerika Serikat dan Inggris. Maunya Korea Selatan. Mungkin aku harus mencoba sumber informasi lainnya. Departemen Bahasa Asing di kampus, misalnya. Atau OIA. Atau tempat kursus Bahasa Korea. Atau Korean Cultural Center. Atau kedutaan besar Korea sekalian. Walau demikian, aku cukup bersyukur karena sudah punya gambaran tentang jurusan yang akan kupilih. Antara East Asian Studies dan Korean Studies. It's still undecided, though. I'm open to new options that will come sooner or later. It's not that I will have to apply this year or next year. Aku ingin menikmati proses dan tidak terburu-buru.

Aku senang karena setelah merasa terombang-ambing tak tentu arah selama dua tahun terakhir, aku mulai berpijak dengan benar. Aku sekarang tahu apa yang ingin dan harus kulakukan. Rasanya seperti kabut-kabut rendah yang menghalangi dan mengganggu jalanku selama ini menipis, meninggi, dan menunjukkan kepadaku plang-plang yang memperjelas arah mana saja yang harus kuambil.

* * *

Info penting: Tepat dua minggu lagi aku akan pulang.

Info penting (lagi): Aku mau mengaktifkan kembali studygram dan bookstagram yang sudah enam bulan lebih ditinggal hiatus. Sudah mulai aktif di studygram, tapi bookstagram-nya masih otw. Cek (dan follow kalau suka) di inmaraudersmap dan bluebookbluebook. Terima kasih~

Date 2017.02.06
Location Dormitory
Music 놓아 놓아 놓아 by DAY6

Thursday, February 2, 2017

Halo Februari

Tiga hari terakhir Januari 2017 aku habiskan dengan jalan-jalan. Perasaan kerjaanku di sini jalan-jalan mulu ya lmao. But by jalan-jalan I mean jalan kaki dari learning center ke dorm, dan karena di sepanjang jalan ada banyak tempat yang bisa dikunjungi, maka bisa dibilang jalan kaki ini termasuk jalan-jalan yang berbau hiburan.

Minggu, 29 Januari 2017
Yang hari ini jalan-jalannya murni untuk hiburan, sih. Aku dan rombongan participant Indonesia berkunjung ke kediaman Pak Indra di dekat Rockwell. Kami disambut dengan hangat dan berkenalan dengan Om Fred yang bertugas di Mindanao. Mindanao itu sebuah wilayah di sebelah selatan Filipina yang dihuni banyak muslim. Wilayah ini bisa dibilang penuh konflik dan dianggap perusuh oleh pemerintah Filipina. Dari Om Fred kami tahu kalau Indonesia dimintai tolong menjadi penengah di antara Mindanao dan pemerintah Filipina, dan itulah alasan Om Fred dan beberapa orang Indonesia lainnya ditugaskan di Mindanao.

Bersama Pak Indra, istrinya, dan Om Fred, kami cerita-cerita dan mengobrol seru. Kami juga makan siang bareng (dan sangat bahagia karena bisa makan sambal lagi). Masakannya enak-enak banget huhu terima kasih, Tante ㅠㅠ Setelah makan siang, kami sholat zuhur berjamaah, lalu main-main sama anak-anak Pak Indra yang lucu-lucuuu. Yang cowok paling kecil namanya Rafa, suka banget lari-lari. Di saat kami akhirnya pamit dan harus pergi, Rafa kelihatan sedih banget gitu dan ngelihatin kami terus sampai kami hilang dari pandangan :')

Kunjungan ini menyenangkan dan menghangatkan hati banget. Terima kasih banyak Pak Indra dan keluarga beserta Om Fred yang telah bersedia menerima kami.



Karena rasanya garing dan gabut banget kalau langsung pulang ke dorm, kami memutuskan untuk mampir ke tempat hiburan terdekat dari perumahan Pak Indra, yang ternyata tak lain tak bukan adalah kawasan Rockwell di mana apartemen si Tante berada. Kami sightseeing kawasan ini yang rapi dan bersih banget kayak maket empat dimensi (?), kemudian proceed ke Powerplant Mall untuk nonton film. Di mall ini aku akhirnya merasakan pengalaman nyata jadi muslim minoritas yang nggak disediai tempat ibadah. Aku dan dua temen cowok berwudu di kamar mandi, kemudian salat asar di pojokan deket pintu masuk di basement mall. Kebetulan tempat ini sepi, tapi apakah kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat? Dilihatin sih iya. Siapa gitu yang nggak nengok ke arah orang yang baru beribadah di tempat kayak gitu. Tapi kalau sampai menjadi pusat perhatian gitu enggak, sih. Orang-orangnya pada biasa aja, malah ada yang nggak nengok sama sekali.

Anyway, rombongan kami terbagi menjadi dua tim yang nonton dua film berbeda, tim xXx dan tim LaLaLand. Tentunya aku termasuk tim xXx karena kalau disuruh milih satu di antara pilihan film aksi yang ada Vin Diesel dan Kak Kris-nya atau film musikal berbau romance yang I don't know anything about tapi lagi ngehits banget, aku akan milih film aksi (I'm more into action than romance anyway). Tapi awal tahun ini filmnya emang bagus-bagus sih. Selain xXx, yang masuk list to-watch-ku tak lain tak bukan adalah The Great Wall sama Resident Evil, tapi yang akan aku tonton selanjutnya (mungkin minggu depan) adalah The Great Wall. Kedengarannya hedon banget, ya. Katanya mau hidup hemat tapi malah nonton. Tiket bioskop di sini mahal, lagi. (Tapi nggak tahu sih kalo bioskopnya beda mungkin harga tiketnya beda juga, dan aku belum pernah ke bioskop lain selain yang di Powerplant.) Tapi sebelum ngejudge aku hedon mari mengingat kembali bahwa aku ini adalah 1) introvert yang berdedikasi, 2) homebody garis keras, 3) pengidap asociality, 4) that typical nerd, 5) mageran parah, dan kita tebalkan poin nomor 4: that typical nerd. Atau mungkin dalam situasi ini nerd-nya diganti jadi geek. Aku nggak menyediakan budget untuk jalan-jalan ke pulau lain, but I do menyediakan budget untuk film-film yang rilis ketika aku tinggal di kota ini. Jadi sejak awal dana untuk nonton film udah termasuk dalam budget list dan karena itu termasuk dalam budget list maka aku tidak merasa dan tidak akan menyebut nonton film sebagai hedon--tapi hedonnya dalam arti foya-foya harta benda--because if you look it up on the internet you'll find a wider meaning of hedonism and it might lead you to a different perspective than what I'm trying to imply but you get what I mean don't you so whatever.

Intinya aku senang karena alhamdulillah dapat kesempatan nonton filmnya Kak Kris~ Senang karena Kak Kris dapat peran kayak Jonathan Rys Meyers di Mission Impossible 3, tipikal karakter pembantu tokoh utama yang walaupun terkesan rada gabut (?) tapi tiap muncul selalu ganteng dan punya posisi penting untuk kelangsungan misi tokoh utama (yang tak lain tak bukan adalah Vin Diesel). Cuma aku rada terganggu sih sama beberapa scene yang rasanya nggak logis banget, kayak pas Om Donnie Yen jatuh dari pesawat dan nyampe daratan lebih dulu daripada Vin Diesel dan itu udah dalam keadaan bareng the squad, like kok bisa?? Kapan mereka ketemu? Sama pas motoran di laut itu kocak banget subhanallah sangat ridiculous tapi ya kreatif sih. Mbak Nina Dobrev lucu dan imut jadi geeky gitu orang sipil (atau lebih tepatnya orang lab) di antara orang-orang beraura soldier yang udah biasa berantem dan pegang senjata. Trus waktu Ice Cube muncul aku spontan bersiul (?) keras banget karena waw itu keren cuy dia tiba-tiba muncul di saat genting nolongin Kak Kris dan kawan-kawan meskipun tetap saja menimbulkan pertanyaan "Kok bisa??" Tapi ya yaudasi namanya juga film fiksi.

Setelah nonton, kami mampir ke apartemen si Tante untuk salat dan istirahat. Aku rada nggak nyangka sih akan kembali ke tempat itu, dan masih tetap awkward sama si Tante yang kelihatannya juga lagi capek, but my friends approached her and still in a way it was a pleasing meeting.

Setelah itu, aktivitas hari itu berakhir. Kami pulang. Naik Grab seperti biasa.



Oh! Aku lupa menceritakan sesuatu! Selama nunggu waktu filmnya tayang, aku dan temen-temen mampir-mampir dulu ke toko-toko yang menarik dikunjungi. Mampir doang tapi, nggak beli-beli. Aku mampir ke toko yang jual boneka-boneka lucu dan sedih karena ada boneka bebek yang tidak affordable :( Aku juga mampir ke Data Blitz, semacam toko game, karena aku suka game dan itu sarangnya Tirta banget dan walaupun cuma lihat-lihat doang tapi aku senang karena apa ya ya karena aku suka aja (?). Game-nya mahal btw (aku berharap lebih murah gitu supaya bisa beli wkwk). Harganya dua ribuan peso.... Nggak ada bedanya sama di Indo....

Setelah nonton, kami sempat mampir ke Marketplace bentar untuk jajan-jajan kecil (?) dan aku menemukan dua rak yang isinya produk Jepang dan Korea semua. Sebagai sampah Asia Timur tentunya aku bahagia hehe. Meskipun begitu, yang jajan-jajan kecil cuma temen-temenku. Aku nggak beli apa-apa~ tapi aku tetap senang~


Lucu banget sebangetbangetnya tapi juga mahal banget sebangetbangetnya.



Seandainya di dorm bisa masak, aku pasti beli ini.

Senin, 30 Januari 2017
Hari ini aku ke Intramuros! Fort Santiago! Sebuah must-visit bagi siapa pun yang pergi ke Manila! Akhirnya!

Tempatnya bagus dan bersih walaupun lebih kecil dari yang kubayangkan. Sangat menenangkan, apalagi kalau lagi nggak banyak orang. Ya serem juga sih karena reruntuhan benteng perang dan bekas penjara mana yang nggak meninggalkan aura serem. Tapi karena aku suka tempat kayak gini jadi ya seneng-seneng aja. Kami nggak naik delman karena 1) mahal, 2) ada agenda lain, 3) mau jalan ke tujuan wisata lain di dekat situ. Rada sedih sih karena aku pengin naik delman, tapi jalan kaki juga nggak ada salahnya. Kami jalan kaki ke Rizal Park, sekitar 1,9 kilometer jauhnya (yang sekarang terasa dekat--pokoknya kalau masih di kisaran satu atau dua kilo itu rasanya dekat) dan merasakan suasana dan atmosfer Manila yang sesungguhnya. Makati nggak kayak gitu, cuy. Mungkin kalau Makati itu Jakarta, Manila itu Jogja. Rasa tradisionalnya lebih kental dan ada lebih banyak bangunan kolonial, kayak Jogja di sekitar Nol Km.



Setelah ke Fort Santiago, kami langsung ke Quezon City. Ke Go Sushi untuk ngasih surprise ultah buat Nabyla. Sushi party gitu dikasih lilin. Sushi-nya enak banget tapi chicken teriyaki sama katsudon-nya tidak :') Habis itu nggak ke mana-mana lagi. Akunya emotionally capek dan nggak connect ngapa-ngapain lagi.

Nungguin Abang Grab yang akhirnya malah bablas meninggalkan kami -_- Akhirnya pesen lagi.

Selasa, 31 Januari 2017
Hari ini kami ngajar. Sejauh ini pulangnya selalu seru karena jalan kaki dan mampir-mampir. Hari ini kami nggak cuma mampir sih, soalnya emang punya tujuan beli kabel charger dan makan malam. Dari learning center, kami jalan kaki ke Ayala Malls lewat jalan yang belum pernah kami lewati dengan jalan kaki sebelumnya (tapi pernah satu kali pas naik Grab). Di jalan, di daerah yang rame gitu, ada restoran Korea dan Japanese Food Mart! Aku nggak ke restoran Koreanya sih karena itu di luar rencana banget dan nggak bisa kalo cuma sekadar mampir doang, tapi aku mampir ke Japanese Food Mart-nya dan beli es krim lucu yang enak banget. Kebetulan aku lagi pengin makan es krim lucu, dan rencananya mau beli di Greenbelt. Tapi ternyata di food mart ini ada jadi ya beli aja~ Lebih murah lagi harganya. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan di bawah langit mendung (dan gerimis) sampai ke Ayala Malls. Sesampainya di sana kami makan di Jollibee (tapi Kak Erin nongki di Coffee Bean). Seru ngakak-ngakak ngomongin si cewek Chinese yang apparently nyebelin banget karena jorok dan lemot :) Gara-gara orang ini aku jadi belajar kalau perasaan benci dan tidak suka itu nggak hanya perasaan belaka. Membenci dan tidak menyukai orang lain itu bisa punya alasan yang sangat logis, tidak hanya sekadar kamu cocok atau nggak sama orang itu. Contohnya sama si cewek Chinese ini. Kami para roommate dari Indonesia nggak ada yang suka sama dia karena dia orangnya nggak bersihan dan nggak mandiri in a way. Kalau ada apa-apa harus kami yang ngingetin dia dan dia nggak pernah berinisiatif sendiri (malah pernah secara terbuka beneran minta diingetin terus). Kan capek, ya. Toh kami di sini bukan buat ngurusin dan ngasuh orang kayak dia. Nggak heran kalau kadang kami jadi tertarik ngerjain dia supaya dia tahu rasa dan ngerti kalau di sini tuh dia yang harus beradaptasi dan menyesuaikan diri sama lingkungan, bukan malah lingkungan yang harus beradaptasi dan menyesuaikan diri sama dia. Ya masa dia nggak mau mandi karena di sini airnya terlalu dingin. Lah, di sini kan bukan Tiongkok, bukan rumah dia. Cari cara gimana kek supaya pas mandi airnya nggak kerasa dingin, bukan malah menolak mandi sampai bikin teman-teman sekamarnya jijik. Kami yang awalnya respect lama-lama jadi males sama dia.





Setelah makan malam di Greenbelt 1 dan Greenbelt 5, kami mampir ke Starbucks di Greenbelt 3 karena Intan dan Kak Erin mau ngecek tumblr Filipina. Sekalian kami semua beli minum sama camilan. Setelah itu nggak ke mana-mana lagi, langsung pulang ke dorm lewat Amorsolo St yang udah tiga kali ini kami lewati dan kali ini kami udah nggak butuh Maps lagi~

* * *

Harusnya postingan ini dipublikasikan kemarin tapi tertunda sehari karena koneksi yang kurang menyenangkan... Sekalian aja aku ceritain apa yang terjadi pada tanggal 1 Februari, ya.

Rabu, 1 Februari 2017
Hari ini aku akhirnya ke Little Tokyo, yay~ Karena konon tempat ini baru rame dan restonya baru pada buka jam lima sore, sekitar jam empat gitu aku sama kawan-kawan perempuan ke Starbucks dulu untuk mencari wi-fi lol dan ngerjain tugas masing-masing. Jam tujuh gitu baru pada kelar, tapi yang ke Little Tokyo cuma aku sama Nabyla. Little Tokyo bisa dibilang cukup dekat sama dorm-ku. Tinggal jalan kaki kurang lebih sepuluh menit.

Little Tokyo tu kayak tempat makan khusus makanan Jepang di Makati. Kecil dan sempit sih tapi semua restorannya otentik dan lingkungannya Jepang banget. Setelah browsing-browsing, aku memutuskan untuk ke Choto Stop dan Hana. Mau beli okonomiyaki tapi akhirnya males sama harga dan waktu pembuatannya. Choto Stop ini food mart yang jual aneka snack dan perkakas Jepang. Bumbu kare, nasi, sama rice cake yang biasanya dijadikan oleh-oleh itu ada semua. Snack-nya Shinchan juga ada dan aku beli satu hehe. Semua barang bisa dibilang harganya 80 PHP atau sekitar dua puluh ribu rupiah. Aku pengin beli makanan yang dibekukan dan nasi-lauk aneh-aneh yang kayaknya lucu, tapi nggak ngerti kanji jadi nggak bisa mencari tahu mana yang mengandung pork, mana yang enggak....

Setelah ke Choto Stop, aku dan Nabyla masuk ke Little Tokyo lewat gate-nya yang Jepang banget, trus mampir ke Hana. Hana ini restoran yang jual aneka makanan Jepang + takoyaki. Takoyaki! Dari dulu aku sukaaaaaaaa banget sama takoyaki. Rasa suka yang kebawa dari zaman ra enak, yaitu waktu aku masih anak jejepangan yang sering main ke bunkasai. Tapi kayaknya takoyaki Hana ini yang terenak yang pernah kumakan, karena 1) ukurannya gede, 2) dalemnya penuh, 3) guritanya banyak, 4) bumbunya banyak dan kerasa banget, 5) enak banget pokoknya aku sampai beli dua buat dimakan di dorm. Harganya murah, lagi! Nggak semurah di Indo yang sepuluh ribu dapet lima biji, sih. Di sini tiga puluh ribuan cuma dapet enam biji, tapi ya itu tadi, kualitasnya sangat tinggi. Apa mungkin karena aku tersugesti, ya? Soalnya dari review-review yang aku baca, nyaris semua restoran di Little Tokyo dimiliki oleh orang Jepang, bumbu dan bahan masakannya diimpor dari Jepang, dan dimasak oleh orang Jepang. Yang masak di Hana nggak kelihatan kayak orang Jepang, sih, karena ngomongnya pake tagalog wkwk tapi nggak tahu juga.... Aku nggak terlalu memperhatikan.

Sebelum ke Starbucks mampir ke Mini Stop dan ada pepero-pepero lucu ini.... Karena aku hoarder produk lucu Korea dan Jepang maka aku ya begitulah.... langsung beli :( Guilty pleasure banget huhu
Permen-permenan di Choto Stop
Takoyaki terenak~
Aku senang ada lagi satu tempat to-go yang bisa aku centang di jurnal. Setelah ini cuma tinggal The Mind Museum doang, but I'm not sure.... Tiketnya terbilang mahal dan tidak ada teman yang menunjukkan keinginan yang sama untuk mengunjungi museum keren ini.... Sedih :( Tapi dipasrahin sama Allah aja deh. Allah pasti memberi solusi.

* * *

Sisa minggu ini akan kuhabiskan dengan hemat habis-habisan (karena baiklah kuakui tiga hari terakhir ini aku terlalu boros) dan mau nggak mau menolak ajakan jalan yang tidak berfaedah. Ada rencana beach trip minggu ini tapi seperti yang sudah kamu tahu, there's no way aku mau ikut :)

Tak terasa waktu kepulanganku tinggal sebentar lagi. Excited~ Nggak sabar pengin kuliah dan ikut kursus bahasa Korea.

Date 2017.02.02
Location Dorm - Starbucks - Dorm
Music Ambitions (Album) by ONE OK ROCK