Pages

Friday, July 14, 2017

Hoi, Apa Kabar

I'm in school break. Hanya tinggal sebulan sampai kuliah dimulai lagi. Itu pun nggak mungkin sebulan gabut total (lmao) karena aku bakal sibuk ngurusin ospek fakultas (I know the event is not called "ospek" anymore, but apparently people are mostly used to getting an idea from a familiar term). Aku bingung apakah aku harus senang udah mau masuk kuliah lagi, atau sedih karena akan kehilangan waktu-waktu gabut yang bisa kugunakan untuk tidur, internetan, baca buku, belajar bahasa asing, dan nulis--basically hal-hal yang aku suka.

How's my break so far? Did I learn something?

I learned that the things that I used to like or I'm not sure if I really like can actually get to you over time and you'll realize that they are what are true for you. I like science, for instance, and I didn't know how much I like it until I realized that I keep choosing the topic over anything else. I'm so attracted to it, now matter how hard I try to remind myself that I am no science person, dude-self, I can barely remember numbers and I'm a just a superficial learner. But science is not all about numbers, thorough researches, and long-term memorizations, isn't it? Sama halnya dengan seni. Musik, patung, lukisan; mereka punya penikmat-penikmat tersendiri yang nggak pernah merasa bersalah karena nggak bisa main musik, memahat, dan menggambar. Kenapa sains harus berbeda? Sains toh juga bisa dinikmati. Maka aku adalah penikmat sains.

Aku sangat, sangat, sangat menyesal karena telah menyepelekan pelajaran-pelajaran sains selama masa sekolah menengah. Fisika, Matematika, dan Kimia terutama, karena apparently aku nggak pernah nggak suka Biologi (kapan aku pernah nggak suka belajar tentang teman-temanku sendiri, para binatang dan tumbuhan? Aku nggak ingat). Aku menyepelekan mereka karena kebawa pengaruh mayoritas di sekitarku yang menganggap pelajaran-pelajaran ini susah dan menyebalkan. Novel-novel teenlit yang sering kubaca sewaktu aku masih di sekolah menengah itu, mana yang bilang Fisika nggak nyebelin? Mana yang bilang guru Matematika nggak killer? Mana yang bilang Sejarah itu seru? Sementara itu, anak-anak yang menyukai pelajaran-pelajaran ini dideskripsikan sebagai anak-anak yang aneh, unik, beda, kutu buku, nerd. Baru belum lama ini aja aku sadar kalau semua stereotip itu misleading. Alias sesat. Aku juga pernah nulis stereotip-stereotip itu di ceritaku sendiri, tapi setelah kupikir-pikir lagi, naskah tertuaku punya Tirta yang sayang Kimia tapi nggak nerd. He's more of a geek. Nawang sayang Matematika. Adit nggak bisa hidup tanpa Astronomi dan Ekonomi, pokoknya yang banyak angkanya, and I admit it was too overwhelming writing his story. Bahkan Dayan yang bandel juga suka Fisika. Rendi? Umm... Rendi... Percaya atau nggak, it is not written anywhere in the published stories, but after he took a year gap, he actually went to college, major in Geography. Kenapa Geografi? Karena banyak kuliah lapangannya dan mempelajari hal-hal di sekitar Rendi yang Rendi lihat dan temukan ketika dia bertualang di alam. Menurutku itu jurusan yang paling masuk akal buat dia karena aku sama sekali nggak bisa membayangkan dia belajar di kelas, apalagi nongki di perpustakaan. Dibandingkan dengan kemungkinan Rendi belajar di kelas dan nongki di perpustakaan, masih lebih masuk akal kemungkinan dia jadi Tarzan.

It was Tirta who said that

        in the unpublished story

                  that I just made up a few secs ago.

Setelah banyak bergaul sama NCT, aku pun sadar kalau Tirta adalah orang yang mulutnya ter-savage di antara mereka berlima (bahkan bersepuluh).

Well belajar Geografi tetep banyak baca dan menghafalnya (+ menghitung + menggambar) tapi setidaknya Rendi punya lebih banyak kesempatan jalan-jalan dan bermain-main di luar ruangan.

Anyway, yeah, I love science and I hope people in this country stop looking down on it. Kapan Indonesia bisa punya jurusan Spacecraft Engineering kalau sains di-alienate terus?

* * *

Recently, I tried out Spotify's features that have always been there all this time but I was never interested in seeing how they work, and I discovered this podcast things that is awfully hell yeah awesome. No one ever told me about cool podcasts being available on Spotify because apparently there's no one ever to share this kind of thing with me (which is sad, but come to think of it, I've been discovering things on my own since I was a kid). I don't know if it's available to play in Spotify Free, though, because mine has been upgraded to Premium and I'll never use Spotify if it is not Premium, but if you're a podcast listener dan orang yang sangat suka belajar kayak aku (a nerd, in short) and apparently not a Premium user, it'll worth every penny you spend for starting the monthly subscription.

Here, some screenshots from my cellphone.


Pretty basic. Discover everything in Browse, and you'll be able to track what you've been checking out in Your Library.

This is what you see in the "Podcasts". Choose what rises your eyebrows. I was instantly attracted to Stuff You Miss in History Class lol

The topics.

Pretty board categories.

The podcast.


Aku kesel banget lihat ini harusnya aku bisa belajar materi planet dari sini waktu SMA dulu. But then emangnya podcast ini udah ada waktu aku masih SMA?
For y'all Potterheads.
Can we use it to study in Hogwarts?

Aren't they cool?!

This is how it looks in Your Library.


Man! I've been putting off my plan to listen to online lectures to drive my brain to sleep because I only know Youtube and it's too ribet to keep playing videos while you try to sleep, and I never try podcasts because I didn't think podcasts were cool ( = a huge mistake). But now... I changed my mind. There's no way I won't change my mind after it got blown by this feature on Spotify. Dude. I love Spotify so much.

* * *

Aku jadi pengin cerita tentang cerita terbaruku, tentang aku yang akhirnya nulis lagi setelah sekian lama, tapi itu lain kali aja.

Ini udah jam sebelas jadi aku harus udahan di sini.

Bye.

Date 2017/07/14
Location Grandma's House
Music Is a Head Transplant Really A Thing? - Stuff You Should Know

Thursday, February 23, 2017

Otw Hidup Enak

Jogja panas banget. Tipikal musim hujan.

Lho, kok tiba-tiba Jogja? Bukan Makati?

Oh, iya, dong. Aku udah pulang :D Minggu malam berangkat dari Manila, Senin dini hari sampai di Jakarta, paginya terbang ke Jogja dan udah dua hari ini aku kembali beraktivitas di kampus tercinta. Dan aku merasa... nggak banyak mikir. Dua hari ini aku ngapain, ya? Cuma inget ngerjain tugas doang. Oh, kemarin sepulang kuliah aku iseng mampir ke Gramedia buat lihat-lihat buku dan pernak-pernik alat tulis (dan dekorasi) lucu. Malemnya di rumah nugas lagi (dan belajar bahasa Korea), trus nonton anime sampai ngantuk.

Rasanya kayak time is slipping. Lebih singkat dari yang biasanya kurasakan. Apa karena sebagian besar waktuku digunakan untuk nugas, ya? Kan dulu aku gabut banget, suka nunda-nunda tugas. Sekarang aku nggak mau kayak gitu lagi. Mungkin karena trauma dapet nilai jelek. Wih, kedengarannya nggaya banget. Tapi aku memang jenis orang yang peduli sama nilai. Pedulinya nggak sampai "harus A semua demi jadi nomor satu sedunia", tapi pokoknya peduli aja biar hidup lebih gampang. Nggak disindir orangtua, nggak minder sama temen, nggak susah cari beasiswa/kerja. Also I want to live up to my image--people see me as a hardworking person, someone who is smart, sharp, and diligent. "Someone who's capable of doing great things" kalau kata Mou. Aku kayak udah sampai di titik di mana aku harus dengerin apa yang dunia pikirkan dan katakan tentang diriku untuk mencari tahu sekaligus membentuk diriku yang sebenarnya. Kan ada tuh yang bilang "Jangan dengerin apa kata orang, jadilah dirimu sendiri saja. Be true to yourself." I didn't know which parts of me were my true self anymore, to the point where I couldn't tell what makes me me. At that point, the tables were flipped. Kamu sendiri bingung kamu ini orang yang kayak gimana, gimana mau "be true to yourself"? Daripada semakin bingung karena menghindari "apa kata orang" saking gengsinya nggak mau jadi seperti apa yang orang lain "harapkan", aku banting setir aja: Gimana kalau coba dengerin mereka dulu? Siapa tahu mereka benar? Atau setidaknya dijadikan petunjuk, apalagi kalau hal-hal yang orang lihat dari kamu itu positif dan keren semua. Maka jadilah aku sekarang, berusaha menjadi orang yang menurut A pinter, menurut B rajin, menurut D pinter bahasa Inggris. Tapi tetep lihat-lihat kondisi juga, sih. Aku nggak mau jadi orang yang kata E jago karya ilmiah karena memang pada kenyataannya aku nggak pernah dan nggak tertarik bikin karya ilmiah. Kan tujuanku tuh untuk menemukan "true self", bukan jadi orang fake :)

Aku udah semester empat sekarang. Tahun depan udah skripsi aja, dan aku udah mulai mikirin kerja. Bukan kerja sih. Lebih tepatnya cari duit sendiri. Ada seribu satu alasan yang membuat seseorang mulai kepengin cari duit sendiri. Ada temen yang kerja di kafe dan toko roti, ada temen yang kerja sebagai seniman (nyanyi, nyinden, pelatih, teater), ada yang berbisnis (banyak!), ada yang ngajar, ada juga yang serabutan tapi nggak jauh-jauh dari event organizing. Njuk aku dadi mikir, aku tahu banget kalo tanpa mencoba pun aku nggak punya ketertarikan apalagi kemampuan di bidang-bidang (?) itu. Lalu apa yang bisa kulakukan untuk menghasilkan uang? Satu-satunya skill-ku yang bisa kuandalkan adalah nulis, dan aku ini jenis orang yang bisanya menyumbangkan pikiran, bukan tenaga. Kemudian aku kepikiran koar-koar "Nulis tuh jangan buat cari duit" dan tiba-tiba muncul ide: Gimana kalau aku melakukan yang sebaliknya? Gimana kalau aku nulis untuk cari duit? Apa aku menjadi orang yang kemakan omonganku sendiri? Not really. I don't feel that way. Nulis tuh oke-oke aja buat cari duit, asal kualitas tulisan juga dikembangin, nggak cuma asal nulis. Kalau memang lagi belajar nulis, cari duit terasa kurang pas untuk jadi motivasi. Lah kalau nulisnya udah pinter, masa nggak boleh dimanfaatkan untuk menghasilkan uang? Sejujurnya aku udah merasa tulisanku bagus, cukup bagus untuk menyuntik rasa percaya diri dan dimuat di media. Tapi itu lebih ke secara teknis, sih. Tata bahasa dan lain sebagainya. Soal eksekusi ide dan konten... saya ndak tau... mungkin aku nggak akan pernah berhenti belajar dan nggak akan pernah merasa bagus apalagi pinter soal yang satu ini. Tapi inilah tantanganku sekarang. Akademisi dan peneliti bekerja dengan tulisan. Aku satu-satunya orang yang pengin kerja jadi peneliti di antara enam mahasiswa yang ngobrolin gimana caranya cari duit sambil makan di Kantin Bonbin tadi pagi. Lima lainnya pengin ngebisnis. Aku masih nggak tahu--bener-bener nggak tahu--mau nulis apa, but I'll figure it out. It'll take time, but I don't want to rush either. Sambil jalan, aku mau baca sebanyak-banyaknya. Brainstorm sesering-seringnya.

di Kantin Bonbin

Pada kenyataannya kita semua manusia sama-sama mengejar kehidupan yang enak dan menyenangkan. Tapi aku nggak mau enak-enak selamanya, apalagi kalau itu tidak membuatku berkembang. Aku suka tantangan intelektual, yang membuatku berpikir, mempertanyakan hal-hal yang lebih besar daripada eksistensiku di dunia ini, membuka dan melebarkan mata untuk segala macam ilmu pengetahuan yang sering kali dijauhi manusia-manusia negeri ini karena dianggap membosankan dan kurang praktis. Aku mau memilih jalan sebagai peneliti, maka pantas jika kehidupan kuliahku banyak diisi dengan membaca dan berdiskusi. Dibilang "mahasiswa kupu-kupu" ya terserah, lha wong memang dengan cara menjadi "kupu-kupu" itulah tujuan hidupku bisa tercapai. Dengan cara yang seperti itulah hidupku bisa enak dan menyenangkan. Ngapain menyiksa diri sendiri hanya demi mengikuti society di saat kamu punya hak untuk mendesain hidupmu sendiri?

* * *

Siang ini aku mengganti wallpaper laptop dengan gambar peta dunia resolusi tinggi. Siang ini juga aku ngobrol-ngobrol sama temen-temen soal konspirasi flat earth dan di saat dia kesusahan menjelaskan rekayasa rute penerbangan, aku langsung bilang, "Nih, nih, bentar. Kebetulan wallpaper-ku peta dunia," kemudian penjelasannya menjadi lebih mudah dimengerti karena diilustrasikan dengan peta dunia di layar laptopku. Sorenya aku ngobrol-ngobrol lagi sama temen tentang hal-hal kenegaraan yang menyebutkan letak Vietnam, Korea Utara, dan Great Wall Tiongkok, dan lagi-lagi wallpaper peta dunia itu membantu menjadi ilustrasi. "Coba buka desktop, deh. Kebetulan wallpaper-ku peta dunia." Ini hal kecil yang sebenarnya sangat remeh, tapi entah mengapa membuatku senang. Aku cinta peta dunia. Peta dunia itu sangat indah dan berguna.


* * *

Alhamdulillah sekali, dua hari terakhir ini aku sangat produktif (dalam belajar). Semoga terus berlanjut dan menjadi kebiasaan sampai-sampai akan terasa aneh jika tiba-tiba gabut nggak punya kerjaan.



Date 2017.02.23
Location Campus - Home
Music Dubstep & Gaming Music playlist by Avanza on Spotify

Tuesday, February 14, 2017

Tinggal Seminggu

Aku sudah mulai merasa akrab dengan kota ini. Dengan lingkungan di sekitar dorm; jam berapa saja kantin lantai satu ramai dengan orang-orang pencari wi-fi, sudut-sudut mana saja yang sinyalnya bagus, setiap malam penduduk lokal nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan menyalakan lagu hip hop Filipino keras-keras. Dengan orang-orang yang sering kami temui; para tetangga kamar, Pak Satpam dorm, satpam Seven Eleven, mbak-mbak dan mas-mas kasir Seven Eleven, abang penjual squid ball dan teman-temannya yang sering nongkrong menemaninya jualan, Bang Alex laundry langganan, sopir-sopir Grab dan Uber, dan terutama anak-anak didik di learning center. Aku sudah mulai berani jalan-jalan sendirian mau siang atau malam. Sudah tahu tempat makan mana saja yang jadi favorit (Sevel dan Jollibee!!!!). Sudah familier dengan jalan-jalan di daerah rimba gedung pencakar langit. Sudah bisa pulang tanpa Maps. Sudah terbiasa dengan kota ini dan rasanya bisa hidup di sini lebih lama lagi.

Tapi enam hari lagi, aku harus pulang.

Kalau ditanya apa perasaan-perasaan akrab dan familier itu membuatku kerasan tinggal di sini, jawabanku membingungkan. Antara ya dan tidak. Ya karena aku sudah berhasil beradaptasi, tidak karena aku benar-benar harus pulang untuk melanjutkan hidup. Sepertinya lebih condong ke tidak. Tapi aku akui aku akan merindukan banyak hal dari kota ini, terutama orang-orangnya. Teman-teman seperjuangan dan orang-orang yang sering kami temui (seperti yang sudah kusebutkan di atas). Rasanya ingin sekali berfoto dengan mereka semua, sebab entah mengapa keberadaan mereka terasa lebih istimewa sekaligus mudah hilang daripada gedung-gedung cantik dan pemandangan-pemandangan indah yang gampang disimpan dalam foto dan kartu pos. Gedung-gedung dan pemandangan-pemandangan itu bisa ditengok lagi di Google kapan saja, tapi orang-orang itu tidak. Mana ada mereka di Google. Maka dari itu, I feel like I want to have a little piece of each of them and keep it forever in my journal. Tapi ya gimana ya, mau minta foto rasanya malu gitu. Masa habis beli tuna omelette di Sevel, lalu bilang "May I take a picture with you?" sama mbak-mbak kasirnya. Not like it's impossible, tapi ya gimana ya huhu

Satu hal yang baru kusadari belum lama ini adalah di sini aku sering jalan-jalan di malam hari. Di rumah? Boro-boro. Di rumah tuh jam tujuh adalah jamku pulang, bukan keluar untuk main. Di sini jam tujuh juga bisa jadi jamku pulang, tapi sering kali aku bisa berada di luar dorm sampai jam sebelas malam. Seperti beberapa hari terakhir ini, dua kali duduk-duduk di Starbucks sama temen-temen sampai jam sepuluh dan sebelas malam, sekeluarnya dari situ masih mampir-mampir ke tempat-tempat di sekitar. Aneh juga sih, setelah sembilan belas tahun hidup tanpa pernah sekali pun main malam-malam, baru setelah satu bulan yang hampir setiap harinya jalan-jalan sampai malam di sini aku sadar kalau semua momen jalan-jalan itu adalah momen pertamaku menghabiskan malam hari di luar tempat tinggal. Dan rasanya... aku akan merindukan itu juga. Juga jadi bertanya-tanya, apa aku akan masih bisa main malam ya setelah pulang? Mungkin aku akan mengusahakan itu sedikit dengan proyek "Apresiasi Jogja Malam" (?), sebuah proyek yang idenya tercetus di kepala beberapa detik yang lalu. Aku juga punya proyek yang sebenarnya sebelum pergi ke sini pun sudah bikin kepikiran terus, yaitu jalan kaki dari FIB ke Malioboro. Aku pengin lebih banyak berpetualang dengan jalan kaki di Jogja. Kalau nggak ada temen yang bisa diajak, sendirian juga nggak apa-apa. Nggak apa-apa banget. Di kotaku sendiri ini. Nggak mungkin aku nggak berani :)

Ah, jadi tambah pengin pulang.

Enam hari lagi.

Aku pengin ke Gramedia dan beli buku-buku sastra yang sebelumnya nggak pernah kubayangkan akan kubaca.

Date 2017.02.14
Location Dormitory
Music -